Mendidik anak bukanlah hal yang mudah, orang tua dan guru harus terus menambah ilmu dalam mendidik anak. Perlakuan dan penanganan yang tidak tepat dapat berakibat fatal pada diri anak.
Masih banyak kita temui orang tua atau guru memperlakukan anak dengan pola-pola yang konvensional, memperlakukan anak sebagaimana mereka diperlakukan oleh orang tua/gurunya dulu. Jika masih efektif, tidak masalah. Seperti halnya dalam mendidik anak untuk disiplin, banyak sekali orang tua yang dalam menanamkan disiplin kepada anak dilakukan dengan segala cara, yang salah satunya dengan tindak kekerasan, seperti memukul, keplak, jewer, cubit, dan sebagainya.
Ada pula orang tua yang begitu khawatir, hingga over protected terhadap anaknya. Orang tua lebih suka anaknya diam di rumah. Kemana-mana diantar. Tidak boleh ini dan itu. Apakah seperti ini yang tepat? Setidaknya kita harus memahami metode dalam mendidik anak.
Dalam buku dua orang pemikir Islam, yaitu Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) dan Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam), ada lima Metode Pendidikan dalam Islam. Yang pertama adalah melalui Keteladanan atau Qudwah, Yang kedua adalah dengan Pembiasaan atau Aadah, Yang ketiga adalah melalui Pemberian Nasihat atau Mau’izhoh, Yang keempat dengan melaksanakan Mekanisme Kontrol atau Mulahazhoh, Sedangkan yang terakhir dan merupakan pengaman hasil pendidikan adalah Metode Pendidikan melalui Sistem sanksi atau Uqubah.
Selanjutnya tahapan pendidikan anak dalam Islam, menurut Sahabat Ali bin Abi Thalib ra, dapat dibagi menjadi tiga tahapan/penggolongan usia: Tahap pertama adalah tahap bermain (“laa-‘ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira umur 7 tahun. Tahap kedua, tahap penanaman disiplin (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira umur 7 tahun sampai 14 tahun. Dan tahap ketiga, tahap kemitraan (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.
Ketiga tahapan pendidikan di atas mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Maka ada baiknya memperlakukan mereka sesuai dengan sifat-sifatnya dan tahapan hidupnya.
Pada topik ini, saya mengulas tulisan dari Cahyadi Takariawan tentang bagaimana menjadikan anak sebagai sahabat. Hal ini sesuai dengan tahapan pendidikan menurut Sahabat Ali ra yaitu mendidik anak pada tahap kemitraan. Tahapan kemitraan yang menjadikan anak sebagai sahabat. Jika disamakan pada jenjang sekolah yaitu SMP atau SMA ke atas.
Lalu bagaimana mendidik anak pada tahapan tersebut?
Pertama, terimalah anak dengan segala potensinya.
Hendaknya orang tua mampu menerima anak dengan sepenuh hati. Bagaimanapun kondisinya. Anak yang merasa diterima oleh orang tua, akan tumbuh dalam kondisi nyaman dan percaya diri. Sebaliknya, anak yang merasa tertolak atau tidak diterima oleh kedua orang tua, akan tumbuh dalam suasana yang tidak nyaman dan dipenuhi penyesalan bahkan pemberontakan.
Saat anak merasa dirinya selalu dipermasalahkan oleh orang tua atau gurunya (sering dikatakan biang pelanggaran, anak memalukan, biang onar, nilai raport tidak pernah bagus, anak nakal, dan lain-lain) maka yang terjadi adalah pemberontakan. Ia merasa terluka dan tidak diterima. Lambat laun tumbuh perasaan tidak bermanfaat dalam dirinya. Dan seiring waktu, jika tidak ada penanganan yang tepat, ia akan benar-benar membuktikan pada orang tuanya/gurunya bahwa ia benar-benar anak yang memalukan dan tidak bermanfaat bagi mereka. Ia menjadi pemberontak.
Jika situasinya sudah seperti ini, akan lebih susah untuk menjadi sahabat bagi anak. Jangan menunggu anak memberontak baru berusaha menjadi sahabat bagi anak. Jangan menunggu anak melarikan diri dari rumah, baru bisa menerima kondisi anak apa adanya. Jangan menunggu anak melawan orang tua, baru menyadari kesalahan pola asuh selama ini. Jadilah sahabat bagi anak, dengan menerima apa pun kondisi mereka.
Jika kondisi mereka belum baik, sikap penerimaan orang tua itu akan membuat anak merasa nyaman dan lebih mudah untuk diarahkan. Para orang tua hendaknya menunjukkan sikap penerimaan sepenuhnya atas kondisi anak, yang membuat anak merasa nyaman berada di rumah bersama keluarga dan nyaman di sekolah. Kalau anak merasa tidak diterima di rumah atau di sekolah, ia akan kabur dari rumah/sekolah dan akan semakin sulit diajak kembali kepada kebaikan.
Kedua, jadilah pendengar yang baik untuk anak.
Hendaknya para orang tua bisa telaten dan sabar untuk menjadi pendengar yang baik untuk anak-anak, sehingga mereka merasa dihargai dan dicintai. Menjadi sahabat yang baik, artinya selalu siap mendengarkan keluhan dan cerita anak-anak. Berikan respon yang positif saat anak-anak bercerita atau tengah curhat, karena dengan respon itu membuat mereka mengerti bahwa orang tua tengah memperhatikan pembicaraannya. Ajukan berbagai pertanyaan ringan seputar ceritanya, namun jangan sampai membuat mereka merasa diinterogasi dan tidak nyaman.
Berikan pendapat yang bisa dimengerti sebagai anak-anak, tetapi jangan meluapkan emosi dan kemarahan saat orang tua/guru merasa mereka telah melakukan kesalahan. Luruskan kesalahan mereka dengan cara lembut dan bijak, cobalah menggali pendapat mereka dengan berbagai pertanyaan yang menggugah. Apalagi pada anak remaja, pada dasarnya mereka tidak suka didikte dan digurui. Mereka ingin belajar, mereka mau berubah, namun mereka juga ingin diakui hak-haknya untuk memiliki masa muda yang indah.
Sebagai sahabat, semestinya para orang tua atau guru pandai mengarahkan anak-anak agar tetap berada di jalan yang lurus, tidak menyimpang, tidak larut dalam pergaulan bebas, tidak terlibat dalam berbagai penyelewengan moral. Tanpa harus mendikte dan menggurui, orang tua bisa membimbing mereka menuju kebaikan budi pekerti.
Ketiga, libatkan diri dalam kegiatan anak
Menjadi sahabat artinya para orang tua harus selalu berupaya memahami apa yang disukai dan tidak disukai anak-anak. Para orang tua harus mampu menyelami dunia anak-anak.
Dengan menemani dan mendampingi anak bermain dan belajar, orang tua akan paham kebiasaan serta karakter anak. Cermati apa yang mereka lakukan saat bermain atau belajar. Perhatikan kreativitasnya dari aktivitas keseharian baik di rumah maupun di sekolah.
Dengan melakukan kegiatan bersama anak secara telaten dan sabar, para orang tua dapat memahami kelebihan dan kekurangan anak, memahami kondisi anak, mengerti situasi hati anak, mengerti hal-hal yang disenangi serta tidak disenangi anak, mengerti cara memasuki hatinya. Anak akan bangga ketika orang tua atau guru hadir membersamainya.
Keempat, berikan penghargaan dan konsekuensi (reward and punishment).
Ketika anak berbuat salah, hendaknya para orang tua/guru bisa menegur dengan bijak. Jika perlu, berikan konsekuensi yang bersifat mendidik. Namun jangan mengekspresikan kemarahan berlebihan yang akan membuatnya tertekan dan merasa direndahkan, apalagi dengan bentakan, hardikan, pukulan, tendangan serta tindakan fisik lainnya. Hal-hal itu akan menyakiti hati anak-anak, membuat anak merasa tidak diterima, merasa terbuang, tersisihkan dan bisa menimbulkan rasa dendam.
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara mendidik dengan memarahi. Mendidik adalah tindakan sadar, terencana dan terprogram untuk membawa anak menuju kondisi yang lebih baik. Sedangkan memarahi adalah ledakan atau luapan emosi sesaat yang tidak terprogram dan tidak dengan kesadaran. Boleh memberi ‘hukuman’ jika anak melakukan kesalahan, namun bukan dengan kemarahan. Menghukum atau memberikan konsekuensi dilakukan dengan landasan cinta dan kasih sayang.
Sebaliknya, berikan pujian dan penghargaan untuk setiap keberhasilan yang diraihnya (sekecil apapun) agar ia merasa diterima, dihargai, dicintai, dan membuatnya lebih termotivasi. Menjadi sahabat artinya berani bersikap jujur, tidak hanya menyenangkan hati anak-anak, tetapi juga berani menyatakan kesalahan sekaligus membantu memperbaiki kesalahan atau kekurangan anak-anak. Sampaikanlah kelebihan dan kekurangan anak dengan jujur, tetapi dengan cara yang membuatnya mengerti dan tidak merasa disakiti.
Kelima, berikan kepercayaan terhadap anak
Sebagai sahabat, hendaknya para orang tua bisa memberikan kepercayaan kepada anak untuk mencoba melakukan sendiri hal-hal yang ingin dilakukannya selama tidak membahayakan dirinya dan orang lain. Cara ini akan menumbuhkan kepercayaan diri anak, tidak selalu bergantung kepada orang lain, merasa dihargai dan bisa mandiri. Kadang orang tua terlalu preventif, sehingga anak-anak terkekang kebebasan dan kreativitasnya.
Terlalu banyak larangan di rumah, terlalu banyak larangan ketika di sekolah yang membuat anak merasa tidak dipercaya. Sebaliknya, ada pula orang tua dan sekolah yang terlalu permisif, sehingga anak-anak terlarut dalam kebebasan tanpa batas. Mereka berpesta pora dalam aneka kesenangan yang menyesatkan dan memabukkan. Yang diperlukan adalah sebuah kepercayaan timbal balik antara orang tua dengan anak. Kepercayaan orang tua tidak akan disalahgunakan oleh anak, sebaliknya kondisi orang tua juga harus bisa dipercaya anak.
Keenam, jadilah teladan bagi anak
Hingga saat ini keteladanan adalah cara paling efektif dalam mendidik anak. Menjadi sahabat, artinya harus memberikan nasihat secara bijak untuk mengarahkan anak menuju kebaikan. Nasihat kebaikan itu baru memiliki makna dan diterima anak, apabila mereka mengetahui orang tua memang layak menjadi teladan dalam kebaikan. Anak-anak akan merasa nyaman ketika memiliki orang tua yang bisa ditiru dan dicontoh.
Ketiadaan teladan dari orang tua membuat anak-anak mudah putus asa dan tidak memiliki seseorang untuk dipercaya. Maka sangat penting bagi orang tua atau guru untuk selalu berusaha memberikan keteladanan dalam kebaikan, karena apa pun yang dilakukan orang tua akan selalu menjadi inspirasi bagi anak-anak.
Demikian tips mendidik anak remaja dengan menjadikan anak sebagai sahabat. Dengan menjadi sahabat, orang tua akan lebih mudah dalam memahami anak, membangun hubungan komunikasi yang lancar dengan anak, mendapatkan kepercayaan dari anak, memperkuat ikatan batin dengan anak, dan mudah mengarahkan serta menasihati anak.
Penulis : Masruhin bagus – artikel ini dipublikasikan juga dipublikasikan di www.jejakruang.com