Zaman dan peradaban manusia terus mengalami perkembangan secara linier beserta beragam konsekuensi yang meyertainya. Meski kadang perilaku manusia berputar layaknya sebuah siklus, namun zaman terus bergerak maju. Bapak sosiologi, Auguste Comte bahkan membagi tiga tahap perkembangan manusia dengan beragam pola yang menyertainya, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Dalam pembahasan ilmu sosial juga dikenal beberapa perkembangan zaman yaitu klasik, modern, postmodern, hingga after postmodern. Tak hanya itu, dewasa ini umat manusia juga dihadapkan pada sebuah era baru yang lazim dikenal dengan sebutan era milenial atau revolusi industri 4.0.
Era milenial dan revolusi industri 4.0 salah satunya ditandai dengan lahirnya generasi baru yang disebut dengan generasi Z serta munculnya cara baru masyarakat dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya. Jika memandang era milenial atau revolusi industri 4.0 hanya di permukaan saja, maka yang nampak hanyalah sebuah era dimana perkembangan teknologi berkembang pesat di segala bidang kehidupan manusia. Namun secara sosiologis, hadirnya era baru bernama milenial punya konsekuensi logis bagi perilaku manusia itu sendiri.
Hampir seperti modernisme, revolusi industri 4.0 juga menawarkan sebuah narasi tentang “pencerahan” (enligthment) bagi kehidupan manusia. Namun sesungguhnya dibalik narasi pencerahan tersebut ada sederet dampak negatif yang mengancam keberlangsungan umat manusia itu sendiri. Setidaknya dewasa ini kita dihadapkan pada persoalan demoralitas yang akut, terkikisnya interaksi sosial serta hilangnya kepedulian sosial.
Kondisi patologis ini layaknya sebuah penyakit yang sudah berada pada stadium akhir. Betapa tidak, dalam beberapa tahun terakhir ini kita banyak dipertontonkan dengan beragam berita tentang kekerasan antara murid dan guru, tindakan seks diluar nikah di kalangan pelajar, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Meski sederet permasalahan sosial tersebut bukan efek domino dari hadirnya era milenial, namun di era ini sejumlah masalah sosial semakin banyak muncul dan menjamur.
Jika memang sudah demikian, pertanyaan yang muncul adalah apa yang bisa kita lakukan untuk mengawal generasi Z agar terjauhkan dari sederet persoalan sosial dan penyimpangan yang terjadi di era ini?. Apalagi karakter generasi Z biasanya merupakan individu yang menginginkan kebebasan dalam setiap tindakannya. Tidak lain hal yang harus kita lakukan guna membentengi generasi Z dari beragam penyimpangan di era milenial ini adalah kembali kepada nilai-nilai agama (back to religion values).
Jika pada abad pertengahan muncul gerakan renaissance dan auflkarung di Eropa sebagai bentuk perlawanan terhadap dogma gereja—atau lahirnya ajaran Karl Marx yang menyebut agama sebagai “candu” yang menghambat kemajuan masyarakat, maka dalam hal ini penulis ingin menegaskan bahwa agama (islam) adalah sebuah sistem norma yang dapat berfungsi sebagai social control atas segala bentuk penyimpangan yang niscaya terjadi di era milenial seperti saat ini.
Tentu jika benar-benar ingin menjadikan nilai-nilai agama (islam) sebagai sebuah sistem kontrol sosial, maka agar hal tersebut berjalan efektif satu-satunya cara adalah harus melembagakan nilai-nilai agama tersebut. Oleh sebab itu maka sangat tepat jika para penyebar dan cendekiawan agama (islam) di masa lalu memadukan nilai-nilai ajaran agama dalam sebuah sistem nilai dan norma terpadu yang lazim dikenal dengan lembaga pendidikan pondok pesantren hingga saat ini.
Pondok pesantren adalah ruang membentuk karakter dan peradaban
Secara komprehensif, pondok pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat transfer of knowledge (transfer ilmu pengetahuan), tetapi lebih dari itu—pondok pesantren adalah sebuah space (ruang) membentuk karakter dan peradaban umat manusia.
Tak kurang cerita tentang lahirnya sosok-sosok generasi hebat yang ditempa melalui pahit manisnya dunia pesantren. Hal ini wajar mengingat di pesantren lah seorang individu akan mengenal lebih dalam tentang jati dirinya dan lingkungan sosial. Ia juga dilatih menjadi pribadi yang beradab, menjunjung tata krama, terbiasa hidup mandiri, dan terpenting adalah secara sistematis dibatasi dari kejamnya kerusakan zaman di era milenial dewasa ini.
Oleh karena itu penulis pikir tidak terlalu berlebihan jika pondok pesantren diberikan gelar sebagai soko guru atau tiang penyangga utama pendidikan karakter di era ini. Eksistensi pondok pesantren juga harus terus dijaga dan dipupuk serta senantiasa berdinamika sesuai zaman dalam rangka melahirkan sosok-sosok generasi unggul peradaban di masa depan.
penulis : Kafani Annashib, S.Sos. (Guru SMAIT Al Uswah Tuban)