Akhir-akhir ini, seringkali kita mendengar istilah revolusi industri 4.0 baik di sekolah, kampus, dan pada seminar-seminar yang lain. Revolusi industri terdiri dari dua kata yaitu revolusi dan industri. Revolusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perubahan yang bersifat sangat cepat, sedangkan industri yaitu usaha pelaksanaan. Revolusi industri merupakan periode antara tahun 1750-1850, yaitu periode dimana terjadinya perubahan secara besar-besaran di berbagai bidang kehidupan, seperti pada bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi yang memberikan dampak mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya pada masyarakat dunia.
Revolusi industri ini telah berjalan dari waktu ke waktu, dan saat ini kita telah berada pada fase keempat revolusi industri. Fase pertama atau revolusi industri 1.0, ditandai dengan adanya penemuan mesin yang menggantikan tenaga manusia dalam mekanisasi produksi. Kemudian beranjak pada fase kedua atau revolusi industri 2.0, yang mengintegrasikan antara proses produksi massal dengan standardisasi (Quality control).
Hal ini ditandai dengan ditemukannya pembangkit tenaga listrik dan motor pembakaran dalam (Combustion Chamber) yang memicu kemunculan mobil dan pesawat terbang untuk transportasi serta pesawat telepon dalam bidang komunikasi. Wajah dunia mulai berubah pada fase ini. Pada fase ketiga (Revolusi Industri 3.0), dunia secara massal bertumpu pada integrasi komputerisasi. Fase ini mengubah pola relasi dan komunikasi masyarakat. Termasuk model bisnis dan pola kompetisi yang mau tidak mau juga harus berubah mengikuti zaman. Pabrik mulai menggunakan teknologi mesin dalam kegiatan produksinya, terutama mesin canggih yang mampu melakukan kegiatan produksi berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan hanya menggunakan tenaga manusia. Artinya pada fase ini, terjadi pengurangan tenaga kerja manusia.
Revolusi industri 4.0 menghadirkan digitalisasi dan otomatisasi perpaduan internet dan manufaktur (Suwardana, 2017). Klaus Schwab, salah satu perintis revolusi industri 4.0 mengingatkan bahwa revolusi industri 4.0 dapat berdampak buruk terhadap pemerintah yang gagap dan tidak mampu memanfaatkan perkembangan teknologi yang melaju semakin cepat. Pada era ini, dunia menerapkan konsep yang disebut dengan Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI), seperti robot yang mampu melakukan kegiatan-kegiatan layaknya manusia atau disebut robot pintar, kendaraan yang mampu melaju tanpa pengemudi, dan aplikasi online yang menggantikan tukang ojek dan taksi seperti GO-JEK dan GRAB yang memanfaatkan jejaringan internet dan smartphone dengan pelayanan berbasis android, dan masih banyak lagi yang lainnya. Maka, memang tidak dapat dipungkiri, revolusi industri 4.0 benar-benar akan mengubah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Revolusi industri ini memberikan kemudahan dalam efisiensi dan produktifitas kerja, tetapi juga mengakibatkan adanya penghapusan lapangan kerja, terutama untuk pekerjaan yang dapat diotomatisasi. Laporan McKinsey memperkirakan sebanyak 23 juta pekerjaan di Indonesia akan digantikan oleh otomatisasi, dan hal ini akan mengubah dunia pekerjaan. Sehingga, Indonesia perlu meningkatkan tenaga kerja untuk mewujudkan potensi yang mampu bersaing di era revolusi industri 4.0.
Revolusi industri 4.0 nyata telah ada di depan mata, tidak terkecuali kita yang ada di Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah mulai berbenah merespon adanya perubahan industri ini dengan meluncurkan ‘Making Indonesia 4.0’ sebagai strategi pergerakan industri nasional ke depannya dengan 10 prioritas nasional, yaitu 1) Perbaikan alur aliran material, 2) Mendesain ulang zona industri, 3) Akomodasi standar sustainability, 4) Pemberdayaan UMKM, 5) Membangun infrastruktur digital nasional, 6) Menarik investasi asing, 7) Peningkatan kualitas SDM, 8) Pembentukan ekosistem inovasi, 9) Menerapkan insentif investasi teknologi, dan 10) Harmonisasi aturan dan kebijakan.
Salah satu prioritas nasional nomor 7 dalam roadmap ‘Making Indonesia 4.0’ tersebut yaitu peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia). Pendidikan menjadi salah satu alat yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas SDM. Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, dan cara mendidik (Nurkholis, 2013).
Era revolusi industri 4.0 ini juga memerlukan pendidikan 4.0 (Education 4.0) yang mampu memfasilitasi generasi muda bangsa untuk menghadapi tantangan digitalisasi. Pada generasi muda bangsa saat ini, sebut saja generasi millennial telah menggunakan kecanggihan teknologi dalam semua aktivitas hidupnya, namun mereka masih terlena dengan fasilitas tersebut, sehingga tidak jarang kita jumpai mereka justru menghabiskan waktu untuk game online bahkan sampai kecanduan dan mengabaikan interaksi sosial di sekitarnya, melihat tayangan porno, dan yang lainnya. Mereka menyalahgunakan kemudahan teknologi tersebut untuk kesenangan mereka semata dan menjerumuskan mereka sendiri ke lubang kehancuran padahal tantangan hidup mereka ke depannya sangat luar biasa. Jika tanpa pengarahan dan bimbingan, maka hal ini sangat tidak baik untuk generasi bangsa Indonesia ke depan.
Pendidikan sebagai proses usaha sadar untuk mengubah sikap dalam mendewasakan manusia haruslah menemukan sistem yang sesuai untuk permasalahan ini. Agustian pada tahun 2005 menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah yang kompleks ini diperlukan suatu metode pembangunan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) yang tetap berlandaskan kepada nilai-nilai mulia rukun iman, rukun islam, dan ihsan sehingga akan mengoptimalkan kecerdasan emosional (Emotional Quotient) dan kecerdasan intektual (Intellectual Quotient) secara terpadu. Pendidikan islam menjadi solusi yang harus diterapkan kepada para generasi millennial untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma islam di era revolusi industri 4.0 dengan tetap mengembangkan skill digital untuk generasi millennial ini.
Pandangan hidup yang mendasari pendidikan islam ialah pandangan hidup yang islami yang pada hakikatnya merupakan nilai-nilai luhur yang universal dan bersumber dari Al Quran dan Hadist yang shohih. Prinsip-prinsip dalam al quran dan hadist yang dipandang fundamental dan esensial yaitu meliputi prinsip tauhid, kemanusiaan, kesatuan umat manusia, keseimbangan (dunia-akhirat, jasmani-rohani, kepentingan individu-sosial, dan antara ilmu dan amal) dan rahmatan lil ‘alamiin. Jika prinsip-prinsip ini dipahami secara menyeluruh dan diterapkan, maka perkembangan teknologi akan mampu teriringi dengan baik dan terarah.
Penulis : Imroatul Maghfiroh, S.Si (Guru Fisika SMAIT Al Uswah Tuban)
Baca juga : Menyiapkan Generasi Milenial di Era Digital
Baca Juga : Urgensi Mendidik Remaja di Era Digital
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta : Arga.
Bahroni. 2009. Pendidikan Islam sebagai Solusi Alternatif untuk Mengatasi Kemerosotan Moralitas Anak Bangsa. Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan. Vol.14. No.2.
Nurkholis. 2013. Pendidikan dalam Upaya Memajukan Teknologi. Jurnal Kependidikan, Vol.1, No.1. Hal. 26.
Suwardana, Hendra. 2017. Revolusi Industri 4. 0 Berbasis Revolusi Mental. TA’LIM : Jurnal Studi Pendidikan Islam JATI UNIK, Vol.1, No.2. Hal. 102-110.
http://indonesiabaik.id/infografis/10-prioritas-nasional-making -indonesia-40 diakses Senin, 14 Oktober 2019 pukul 08.45 WIB.