Tugas mendidik adalah kewajiban semua orang. Bukan hanya tugas guru tetapi kita. Karena suatu saat kita akan menjadi orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak salah satunya adalah mendidik atau memberikan pendidikan. Kemudian karena keterbatasan orang tua, tugas mendidik dipercayakan kepada seorang guru atau sekolah.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menyiapkan remaja menghadapi era digital? Sebagai guru, apa yang harus dilakukan?
Menjawab beberapa pertanyaan di atas, maka sebenarnya ada hal mendasar yang perlu disepakati bersama. Antara orang tua dan guru. Harus ada kesamaan visi dalam mendidik anak. Pendidikan seperti apa yang diinginkan. Bekal apa yang harus dimiliki oleh seorang remaja.
Sebagai seorang muslim, saya sepakat dengan konsep yang disampaikan oleh Abdullah Nasih Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam) bahwa bekal pendidikan yang harus diberikan ke anak adalah yang pertama keimanan (aqidah), akhlak, pemikiran/pengetahuan, fisik, sosial, kepribadian dan yang terakhir adalah kejenisan (sex education). Tujuh hal ini merupakan kurikulum yang harus diberikan kepada anak.
Dari konsep di atas, maka yang harus dibangun pertama adalah keimanan/aqidah, baru kemudian akhlak atau adab. Dua hal tersebut merupakan pondasi yang harus diperkuat. Nilai-nilai religius harus menancap kuat dalam diri seorang anak. Karena sejatinya, hakikat dari kesuksesan sejati bukanlah diraihnya jabatan, gelar yang tinggi, bukan pula banyaknya kekayaan, tetapi kesuksesan sejati adalah ketika kita dapat sukses dan selamat di negeri abadi bernama akhirat. Meraih Ridho Allah SWT dan berkumpul di surga-Nya.
Manakala pondasi agama ini sudah kuat, maka seorang anak akan tumbuh menjadi remaja yang kuat. Kuat menghadapi situasi dan kondisi apapun. Termasuk menghadapi perubahan zaman dengan segala tantangannya.
Dengan nilai-nilai agama yang kokoh harapannya seorang remaja tidak mudah goyah dan tergerus oleh zaman. Zaman boleh berubah tetapi keimanan dan ketaqwaan harus tetap terpatri dalam diri seorang anak.
Perubahan zaman dengan segala tantangannya, tidak bisa begitu saja kita abaikan. Kita harus peka terhadap perubahan yang ada. Karena setiap bergantinya zaman diperlukan penyesuaian atau pun penguatan.
Era digital saat ini, kebiasaan, cara hidup dan kerja seseorang mengalami perubahan. Entah disadari atau pun tidak. Misalnya ritual berdoa sebelum makan, sekarang berubah menjadi selfie dulu sebelum makan. Biasanya setelah bangun tidur berdoa, sekarang bangun tidur langsung cek handphone, Untuk mendapatkan informasi atau tentang sesuatu hal kita datang ke guru atau ke ahlinya, sekarang cukup bertanya ke ‘Mbah Google’ atau ‘Mbak Youtube’, dan masih banyak kebiasaan lain yang berubah dan bergeser.
Era digital dengan generasi milinealnya ini memiliki kebiasaan, gaya hidup, cara hidup, dan kerja yang berbeda dengan kita.
Tidak bisa dipungkiri sebagai guru, dalam beberapa hal harus menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Guru harus lebih kreatif dan inovatif. Guru harus bisa menghadirkan atau menjadikan ‘sesuatu yang penting’ menjadi ‘menarik’ bagi siswa. Itulah guru inovatif.
Suatu perumpamaan, katakanlah Pizza itu penting, untuk selingan makan. Tapi jika sepotong Pizza tersebut disajikan oleh seorang istri dengan cara yang kasar (maaf, misalnya, “monggo diuntal pizza-nya”), maka bagi suami, Pizza itu sudah tidak menarik dan tidak penting. Termasuk yang menyajikan.
Itulah akhirnya, di era digital sekarang ini guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi. Karena sumber informasi sudah banyak tergantikan oleh google, youtube, yahoo, dan sebagainya. Sehingga eksistensi guru harus diperkuat dengan inovasi dan teladan.
Guru harus dapat menjadikan sesuatu yang penting menjadi menarik dan menjadikan yang menarik menjadi penting. Guru juga harus bisa menjadi sumber teladan. Guru bisa memberikan contoh yang baik. Sumber inspirasi dalam karakter. Terutama dalam adab dan akhlak.
Mengakhiri tulisan ini, alangkah baiknya kita renungkan nasihat yang disampaikan oleh Sahabat Ali bin Abi Thalib,
Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu.
Artinya, ilmu itu bersifat dinamis dan tidak tetap, keberadaannya menyesuaikan dengan kondisi sekarang dan kehidupan masa depan. Sesuatu yang hari ini istimewa, tapi pada 10 atau 20 tahun mendatang bisa jadi hanya hal yang biasa-biasa saja. Sesuatu yang hari ini mustahil, bisa jadi pada 10 atau 20 tahun mendatang adalah hal yang sangat mudah sekali.
Semoga kita mampu mengantarkan anak remaja kita untuk hidup sesuai zamannya. Dengan tetap iman dan taqwa di dadanya serta akhlaq menjadi hiasannya. Wallahu a’lam.
Penulis : Masruhin, MA. (Tulisan-tulisan beliau dapat juga diakses di www.jejakruang.com)