Menumbuhkan Majelis Keluarga

Kata majelis berasal  dari kata jalasa, yang bermakna berpindah  dari tempat  yang rendah ke tempat yang lebih tinggi. Sehingga fungsi majelis ilmu dan majelis-majelis yang lain sepantasnnya menjadikan seseorang atau sekelompok orang menjadi lebih tinggi kualitasnya setelah berada dalam majelis tersebut.

Keluarga adalah: salah satu unit terkecil dalam masyarakat, yang terdiri dari suami isteri atau suami isteri dan anaknya, atau suami  dan anaknya (duda), atau isteri dan anaknya (janda). Dalam kedudukan keluarga sebagai unsur terkecil dari negara, maka kekokohan dan kebaikan dalam keluarga–keluarga menjadi penentu kebaikan sebuah masyarakat negara. (UU No 52 tahun 2009).

Islam meletakkan keberadaan keluarga dalam posisi yang sangat penting. Aturan, pengajaran, pembinaan, peringatan, kisah–kisah inspiratif tentang keluarga banyak bertebaran di dalam alquran dan hadits yang mulia. Kemuliaan keluarga Rasulullah, pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim, pelajaran dari Luqman, ketangguhan Maryam ibunda Nabi Isa AS, dan berbagai keteladanan indah yang telah diguratkan oleh sahabat-sahabat Nabi tercinta. Bahkan sholawat yang kita lantunkan dalam sholat kita pun, tidak sekedar menyebut nama agung Muhammad SAW dan Ibrahim AS, tetapi sekaligus nama keluarga beliau.

Alquran juga berbicara tentang hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga, sebagai bagian dari manhaj Islam. Mendudukkan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga. Meletakkan perempuan dalam tempat mulia dalam menjalankan peran sebagai isteri dan ibu bagi anak-anaknya.

Majelis Keluarga, Urgensi Pembentukannya

Hadits dari Anas bin Malik: Ketika seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya. Maka bertakwalah pada Allah pada setengah sisanya.

Pada saat seseorang memasuki gerbang pernikahan, maka sesungguhnya dia telah melakukan langkah penyucian diri dari syahwat yang menyimpang. Syahwat yang memiliki potensi terbesar untuk menjerumuskan manusia ke dalam jurang kehinaan. Menikah juga membantu anak Adam untuk memiliki kondisi emosi yang lebih stabil, lebih mengasah sifat  berani  berkorban dan kesiapan memikul tanggung jawab. Sifat-sifat yang sangat dibutuhkan bagi manusia, untuk menjalankan tugas utamanya,

Sebagai Hamba Allah dan Khalifah Di Muka Bumi

Namun demikian, patut disadari bahwa perjalanan sesungguhnya adalah bagian dari ujian itu sendiri.  Pernikahan bukanlah tamasya  yang serba indah dan selalu mendatangkan rasa suka. Sepanjang usia pernikahan berbagi ujian, cobaan, bahkan adakalanya badai, akan datang silih berganti. Untuk itu diperlukan kesiapan menghadapinya. Dalam konsep Islam sebaik-baik bekal adalah taqwa kepada Allah. Demikian pula dalam pernikahan, persiapan utama bukan pada seberapa besar pesta walimah yang diselenggerakan. Tetapi yang lebih penting adalah  kadar ketaqwaan calon pasangan  kepada Allah SWT, serta adanya  bekal ilmu untuk menghadapi liku-liku perjalanan rumah tangga.

Disinilah urgensi  keberadaan majelis keluarga, ada di semua rumah tangga. Majelis yang mengangkat derajat seorang pemuda menjadi pemimpin terbaik dalam keluarga, majelis yang meninggikan kedudukan perempuan muda menjadi isteri dan ibu, majelis yang dapat mencetak tunas-tunas baru, generasi penerus yang me-ngemban estafet kemulian Dienul Islam dan dakwah para nabi dan rasul!

Darimana Majelis Keluarga Dimulai?

Majelis keluarga dimulai dari sejak seorang  anak berada di dalam kandungan hingga kelak dia siap memasuki gerbang pernikahan. Orangtua dan guru serta masyarakat memiliki kewajiban untuk menyiapkan anak-anak secara biologis, psikis, dan memberikan  berbagai life skill yang dibutuhkan dalam menajemen sebuah keluarga. Pendidikan seksual sesuai prinsip–prinsip ilahiyah menjadi salah satu tanggung jawab terbesar orang tua terhadap anaknya.

Orang tua membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman yang benar, bagaimana cara dan perbedaan mendidik anak laki-laki dan bagaimana mendidik anak perempuan. Pemahaman dan sikap mendidik anak sesuai fitrah jenis kelaminnya menjadi kewajiban orangtua yang tidak bisa ditawar. Lebih-lebih di tengah issue-issue penyesatan dan penyimpangan fitrah dasar manusia, yang justru difasilitasi oleh negara seperti kondisi sekarang ini! (Perhatikan iklan layanan masyarakat, Indonesia Inklusif yang dirilis oleh Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan disponsori oleh NGO dalam dan luar negeri).

Konsep-konsep tentang kesetaraan gender, pengakuan terhadap perilaku seksual yang menyimpang, telah dikemas dalam bungkus perjuangan humanity. Bungkus yang menipu,  ibarat kado indah yang menarik hati, ternyata  di dalamya berisi bangkai busuk yang menjijikkan bagi manusia yang masih memiliki nurani. Sekali waktu orangtua perlu menengok situs-situs milik mereka, (mis : situs resmi LGBTI, arus pelangi dll). Bekal bagi orangtua untuk  memahami dan mewaspadai berbagai strategi dan upaya yang mereka lakukan.

Membersamai pertumbuhan biologis dan psikis buah hati hingga siap memasuki usia pernikahan, adaah fase selanjutnya. Metode pendampingan dan dialog untuk membangun kedekatan antara orangtua dan anak, akan menghilangkan sekat–sekat komunikasi. Anak akan merasa nyaman dan dengan kerelaan hati menjadikan orangtua sebagai mentor terbaik dalam melewati masa-masa pancarobanya.

Orang tua menjadi tempat yang nyaman untuk berdiskusi dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan memilih pasangan hidup. Bersama-sama, dengan segala kesungguhan, menjadikan tugas mulia ini salah satu prioritas dalam kehidupan, akan mengantarkan orangtua menjadi pihak  yang paling berbahagia di saat mereka menuntaskan tugasnya, mendampingi  buah hatinya memasuki bahtera rumah tangganya.

Bagaimana Jika Kondisi Keluarga Belum Ideal?

Konsep tersebut di atas adalah kondisi ideal yang diharapkan. Pemahaman akan petunjuk mulia ilahiyah yang sambung-menyambung, bergulirnya estafet nilai-nilai kesucian dan  kebaikan dari generasi ke generasi umat ini.

Namun adakalanya, fakta yang ada  tidak se-ideal yang diharapkan. Berbagai situasi dan kondisi yang berbeda dari masing-masing keluarga tidak memungkinkan bimbingan robbani ini bisa dilakukan di semua keluarga. Dan berita sedihnya adalah, keluarga yang tidak menjadikan majelis keluarga ini sebagai sebuah prioritas, akan mewariskan pula kondisi tersebut pada generasi berikutnya. Ibarat mata rantai dan siklus berulang dari generasi ke generasi.

Untuk memutus mata rantai yang tidak menguntungkan tersebut, beberapa pihak telah menginisiasi terbentuknya lembaga-lembaga yang konsen pada majelis keluarga. Seminar, training, workshop dan berbagai kegiatan pendukungnya,  telah dilakukan untuk mengembalikan fitrah keluarga muslim, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah dan rasulnya.

Upaya ini memang masih belum memasyarakat. Proses edukasi kepada masyarakat umum pun masih memerlukan waktu yang panjang. Butuh kesungguhan dari mereka yang telah mendapatkan pencerahan akan makna pentingnya keluarga bagi sebuah peradaban.

Konten Majelis Keluarga 

Merujuk pada teori life span development, bahwa manusia akan terus mengalami perubahan dalam dirinya, sejak masa terjadinya pembuahan dalam rahim Ibunda, sampai kelak dia akan memasuki masa akhir dari kehidupannya. Setiap rentang usia memiliki ciri khas kebutuhan, cara berpikir dan bertindak, serta problema yang menyertainya. Jika fakta ini kita hubungkan dengan kehidupan berkeluarga, maka selalu dibutuhkan treatment yang tepat dalam mengelola rumah tangga. Karena itu majelis keluarga selayaknya  dirancang untuk membekali setiap orang dengan:

 1. Pembekalan Sebelum Berkeluarga.

Setiap calon pasangan suami-istri hendaknya sudah memiliki cara pandang yang benar akan makna kehidupan. Memahami dengan jernih tentang  hakekat kemanusiaan di dalam dirinya; untuk apa dia diciptakan, tujuan hidupnya selama di dunia, dan visi besar apa yang harus dia tuntaskan di rentang masa tersebut.

Memahami hikmah perintah untuk menikah, hak dan kewajiban suami istri di dalam rumah tangga, mengenali problema-problema yang mungkin muncul dalam hubungan suami istri, serta memahami fungsi penting keluarga sebagai unsur bangunan dalam masyarakat, umat dan negara. Sebuah bekal dasar yang tidak cukup hanya diberikan dalam materi khutbah nikah dan tausiyah di pelaminan!

2. Pengelolaan rumah tangga setelah menikah

Tepat setelah pesta walimah berakhir, saat itu pula sepasang hamba Allah mulai mengayuh biduk rumah tangganya. Adakalanya kondisi seperti mengayuh perahu di danau yang tenang, namun adakalanya seperti tengah berkayuh dalam arung jeram! Tidak menjadi masalah bila suami istri telah memiliki antisipasi, serta berkomitmen untuk tetap mengayuh berdua dalam kondisi apa pun. Tetapi masalah akan terus bermunculan jika kedua pihak lebih mengedepankan egonya masing-masing.

Seringkali problema yang muncul dalam masa-masa awal pernikahan adalah kendala komunikasi, dan kemampuan untuk beradaptasi atas kekurangan satu sama lain. Kondisi ekonomi yang belum stabil, serta hubungan dengan keluarga besar suami- istri. Masalah dengan keluarga besar, khususnya hubungan antara menantu perempuan dengan mertua perempuan (salah satu kisah  horor terfavorit di Indonesia he..he..), seringkali mempe-runcing masalah–masalah internal dalam keluarga yang baru terbentuk.

Masalah lain akan selalu hadir mengiringi usia rumah tangga, proses hamil dan melahirkan, kebutuhan mendidik dan menyekolahkan anak-anak, biaya rumah tangga yang terus meningkat, godaan-godaan pihak ketiga dan berbagai pernik-pernik problema  yang akan terus menyertai. Berapa pun usia pernikahan, tidak ada yang steril dari permasalahan!  Karenanya, keberadaan majelis keluarga bagi yang sudah memasuki masa pernikahan tetap dibutuhkan.

Sekufu dari Awal Sampai Akhir

“ Wahai Ali, ada tiga perkara yang jangan kau tunda pelaksanaannya, shalat apabila telah tiba waktunya, jenazah apabila telah siap penguburannya, dan wanita apabila telah menemukan jodohnya yang sekufu/ sepadan” (HR. Tirmidzi, Hasan).

Menjaga pasangan untuk tetap sekufu, tidak saja di awal menikah, tetapi setelah rumah tangga berjalan bertahun-tahun. Ada perlunya kedua pihak mengechek kapasitas diri masing-masing. Menyediakan waktu sejenak untuk evaluasi, membandingkan kualitas diri dan produktifitas amal sejak sebelum menikah, setelah setahun, dua tahun, dan tahun-tahun berikutnya setelah menikah. Apakah peningkatan kualitas itu berjalan berdampingan antara suami dan istri.

Banyak kasus rumah tangga yang berkembang menjadi pelik dan parah, di saat suami dan istri tidak ‘nyambung’ lagi. Istri, karena kesibukan mengelola keluarga menjadi lemah semangat belajarnya, sementara suami karir dan kedudukan di tempat kerja semakin bagus. Atau sebaliknya, istri bersemangat mengikuti kajian, sementara suami karena kesibukan mencari nafkah, tidak sempat lagi belajar. Ketika suami istri tidak sekufu lagi, maka akan berpengaruh pada cara pandang dalam menghadapi permasalahan keluarga. Tidak se-visi lagi.

Jika kondisi ini terjadi maka tidak ada pilihan lain bagi pasangan tersebut, kecuali berusaha membangun kembali komunikasi, menghidupkan majelis keluarga, atau meminta bantuan dari majelis-majelis keluarga yang ada. Sehingga bahtera tetap bisa diselamatkan, tetap mengayuh sebiduk berdua, hingga kelak bersama memasuki surgaNya. Wallahu ‘alam.

Penulis : Ratna Dwi Kartika (Allahu yarham), Pendiri Yayasan Al Uswah Center Tuban, Diambil dari buku : Generasi Qurani Pengukir Peradaban, Uswah press, 2017

Berita Terbaru
Share Artikel
Scroll to Top