Istilah literasi bukan hal baru lagi di kalangan pendidik maupun masyarakat secara luas. Bagi guru maupun tenaga pendidik literasi merupakan aspek penting yang harus dimiliki. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yang berorientasi pada penguatan literasi dan numerasi peserta didik. Memaknai literasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI Daring adalah kemampuan menulis dan membaca; pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; dan kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Berdasarkan definisi tersebut, literasi dapat dipahami sebagai kemampuan individu yang meliputi kemampuan baca-tulis dalam mengolah suatu informasi tertentu.
Rohman (2022) berpendapat bahwa membaca adalah jalan menuju kesuksesan hidup. Ia menambahkan bahwa pembaca yang baik akan mampu memperluas pandangan, pengalaman, dan pikiran mereka. Kemampuan memahami suatu bacaan menjadi bekal manusia untuk menjadi individu yang lebih berkualitas. Sedangkan kemampuan menulis dapat membantu seseorang menuangkan ide, gagasan, atau pandangannya terhadap suatu masalah yang sedang terjadi dalam kehidupan. Dua hal inilah pilar utama dari penguatan literasi atau keterampilan yang hendak dicapai dalam proses belajar.
Lantas apakah konsep tersebut telah terimplementasi? Berdasarkan studi “Most Literred Nation the Word 2016”, minat baca peserta didik Indonesia masih menjadi yang terendah. Minat baca peserta didik kita berada di peringkat ke-60 dari 61 negara (Republika/2018). Sedangkan, suvei terbaru minat baca di Indonesia pada 2023 masih belum menujukkan perbedaan signifikan. Berdasarkan data UNESCO, Indonesia menempati peringkat ke-71 dari 77 negara dengan indeks minat baca masyarakat sebesar 0,001 persen. Artinya, hanya ada 1 orang setiap 1000 orang yang masih membaca (dilansir dari Kumparan.com/2024). Data yang menujukkan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia menjadi pukulan telak bagi pendidikan di era disrupsi.
Era disrupsi merupakan periode atau zaman yang ditandai dengan kemajuan teknologi di berbagi aspek kehidupan manusia. Menurut Rahmawati (2018) bahwa era disrupsi terjadi karena pengaruh industri 4.0 yang mengubah tatanan tradisional menjadi serba mesin canggih. Era di mana mesin dan teknologi mulai menggantikan tenaga manusia dalam dunia kerja.
Sebelum lebih lanjut membahas era disrupsi alangkah baiknya memahami makna dari istilah disrupsi itu sendiri. Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring VI kata disrupsi adalah hal tercabut dari akarnya dan interupsi pada proses atau kegiatan yang telah berlangsung secara berkesinambungan. Berdasarkan pengertian ini maka era disrupsi dapat dimaknai suatu periode di mana banyak hal (pekerjaan manusia) mulai tergantikan secara total, utuh, atau menyeluruh oleh teknologi atau robot. Dari pengertian ini era disrupsi seolah memberikan gambaran kelam bagi masa depan manusia. Namun, apakah teknologi benar-benar bisa menggantikan peran manusia? Lalu, bagaimana agar manusia mampu bersaing dengan kemajuan teknologi yang akan menggantikan profesinya?
Perubahan atau peralihan tenaga manusia menjadi tenaga mesin ini sebetulnya juga menemui beberapa hambatan dan masalah mendasar. Menggantikan tenaga manusia dalam industri otomotif, senjata, makanan pokok, pertanian dan lain-lain misalnya, menggantikan tenaga manusia dengan robot atau mesin membutuhkan biaya yang tidak murah. Teknologi tersebut masih sangat mahal, sehingga butuh dana besar yang harus disalurkan dalam prosesnya. Masalah lain, seperti unjuk rasa terhadap pemenuhan hak kerja setiap warga negara menjadi persoalan fundamental yang harus diselesaikan. Penggunaan teknologi di dunia kerja sewajarnya memperhatikan etika dan moral agar manusia tidak kehilangan mata pencariannya untuk melanjutkan hidup. Di lain sisi, manusia juga harus terus meningkatkan kapasitas dan profesionalitasnya sebagai tenaga kerja agar tidak tergantikan oleh mesin.
Tantangan dan peluang baru di era disrupsi sangat bervariatif sesuai dengan bidang dan aspek yang ditekuni. Pada aspek pendidikan, guru dan tenaga pendidik lainnya dituntut untuk terus meningkatkan kapasitasnya supaya terlahir peserta didik yang berkarakter. Dimulai dari jenjang sekolah, sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing ini dibentuk. Menurut Sayyidi (2020) bahwa dalam proses pendidikan upaya transformasi ilmu pengetahuan, pengayaan nilai, pengetahuan tentang karakter kebudayaan, dan penanaman nilai keagamaan terjadi. Seluruh proses pendidikan tersebut bertujuan melahirkan manusia yang mampu memanusiakan manusia. Prinsip-prinsip yang memegang nilai luhur ini kemudian menjadi bekal untuk menghadapi tantangan di era disrupsi. Maka kedua hal ini, yaitu penguatan literasi dan karakter individu menjadi bekal yang wajib dimiliki di era disrupsi ini.
Penulis : Ustad Moh. Syaiful Huda, S.Pd (Guru B. Indonesia SMAIT Al Uswah Tuban)
DAFTAR PUSTAKA
Rohman, Abdul. 2022. Literasi dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis di Era
Disrupsi. Jurnal EUNOIA Vol.2(1) 2022/hal.40-47/ISSN: 2798-4214(online).
Rahmawati, Fitri. 2018. Kecenderungan Pergeseran Pendidikan Agama Islam di Indonesia pada Era Disrupsi. Jurnal TADRIS Vol.13(2) 2018:244-257.