Orang tua adalah orang pertama yang akan menjadi pemeran penting dalam pendidikan anak. Semua orang tua di dunia ini tentu menginginkan anaknya berkembang dengan baik tanpa terkecuali. Mulai dari dalam kandungan para orang tua memulai memberikan pendidikan untuk anaknya, seperti ketika lahir nanti mau cantik atau gagah maka bersering-seringlah membaca surat Maryam/Yusuf atau secara umum kalau anak mau lahir menjadi orang baik maka sering-seringlah membaca Al-Qur’an. Demikian juga dengan makanan yang dimakan oleh ibu ketika sedang mengandung diharapkan memakan makanan yang bergizi dan baik (yang dalam bahasa agama disebut dengan halalan tayyiban) baik yang dimaksud di sini termasuk cara memperoleh rezeki, yaitu sangat dianjurkan untuk mencari rezeki dengan cara yang dibenarkan oleh agama. Ketika anak sudah mulai beranjak usia sekolah, orang tua mengaharapkan anaknya menjadi yang terbaik di kelasnya, meminta anak untuk rajin belajar, les dll. Hal ini tidak lain tujuannya demi anaknya menjadi anak yang berkembang dengan baik, sukses, dan sesuai harapan orang tua.
Namun di luar sana banyak sekali kita temukan, tidak sedikit orang tua yang berantusias terhadap pendidikan anak hingga mereka tidak sadar bahwasanya pola asuh yang diberikan terhadap anak masih kurang tepat. Menginginkan anak berkembang dengan baik, memiliki akhlak terpuji, atau rajin beribadah tetapi keteladanan yang diberikan orang tuanya masih kurang atau mungkin bahkan tidak ada (Naudzubillah). Akibat dari kejadian ini akan memunculkan masalah dan konflik, baik di dalam diri anak itu sendiri maupun antara anak dengan orangtuanya, maupun terhadap lingkungannya (Rakhmawati, 2015).
Keteladanan Orang Tua terhadap Pendidikan Anak
Keteladanan dalam hal ini adalah mendidik anak dengan cara memberikan contoh yang baik (uswah hasanah) agar dijadikan panutan baik dalam berkata, bersikap dan dalam semua hal yang mengandung kebaikan (Julaeha, 2014). Seperti halnya pepatah yang seringkali kita dengar, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, anak merupakan cerminan dari orang tua. Jika menginginkan anak menjadi anak yang tumbuh dengan baik, maka sebagai orang tua kita dituntut pula untuk melakukan hal-hal yang terpuji sehingga anak menanamkan pada dirinyapun juga sifat terpuji. Contohnya anak tidak akan terpengaruh dengan tokoh fiktif yang dihadirkan oleh media televisi, karena ayah dan ibunyalah menjadi panutan anak dalam kesolehan. Dengan demikian proses pendidikan akan berjalan dengan penuh makna jika kedisiplinan dalam ibadah misalnya, akan terlihat dari orang tuanya yang bersegera salat saat mendengar adzan. Ayahnya segera bergegas pergi ke mesjid untuk melaksanakan solat berjamaah. Ibu segera menghentikan segala aktivitas untuk menunaikan kewajiban dengan penuh kerelaan. Hal ini akan menjadikan anak begitu antusias meniru kebiasaan tersebut, terlebih jika pendidikan keteladanan ini diberlakukan sejak anak usia dini.
Tiga Jenis Pola Asuh Orang Tua Terhadap Anak
Bahasannya selanjutnya dalam tulisan ini adalah tentang pola asuh. Dalam jurnal penelitian Rakhmawati yang berjudul “ Peran Keluarga Dalam Pengasuhan Anak” disebutkan ada tiga jenis pola asuh, yaitu otoriter, permisif, dan demokratis.
Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter merupakan pengasuhan yang dilakukan dengan cara memaksa, mengatur, dan bersifat keras. Dalam hal ini orang tua cenderung menuntut anak mengikuti semua aturan yang sudah Ia tetapkan, menganggap bahwasannya aturan yang dibuat adalah terbaik untuk anaknya tanpa memperhatikan kemauan dan kemampuan si anak. Misalnya orang tua berantusias anaknya kelak menjadi seorang dokter, sehingga mulai SMA menuntut si anak untuk memilih jurusan IPA sehingga saat kuliah dapat memilih jurusan kedokteran, padahal si anak lebih suka dalam bidang sosial. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan dampak negatif untuk si anak, diantaranya anak cenderung tidak percaya diri, kurang semangat, tidak mandiri dan kurang kreatif serta kurang terampil dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya, anak akan lebih bergantung kepada orang tua karena orang tua lebih condong menyetir apa yang ada di dalam hidup anak, bahkan disebutkan sampai menimbulkan stres atau depresi pada anak. Oleh karena itu pola asuh jenis otoriter ini tidak dianjurkan.
Pola Asuh Permisif
Pola asuh yang kedua adalah pola asuh jenis permisif, yaitu pola asuh yang dilakukan dengan memberikan kebebasan terhadap anak. Anak bebas melakukan apapun sesuka hatinya. Pola asuh ini sering terjadi pada anak yang kedua orang tuanya sama-sama pekerja (sibuk) sehingga kurang peduli terhadap pola asuh anaknya, orang tua lebih cenderung memanjakan dan menuruti semua keinginan anak. Padahal yang dibutuhkan anak bukan hanya “ kamu butuh apa?” namun bagaimana menjalin kedekatan antara orang tua dan anak sehingga orang tua dapat membersamai dan memastikan tumbuh kembang anak dengan baik. Pola asuh semacam ini dapat mengakibatkan anak menjadi egois, keegoisan tersebut akan menjadi penghalang hubungan antara sang anak dengan orang lain (Syafie, 2002: 24 dalam Rakhmawati, 2015). Pola pengasuhan anak yang seperti ini akan menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi sosial karena adanya kontrol diri yang kurang.
Dalam hal ini saya pernah mempunyai anak didik (les privat) yang saat itu ayah dan ibunya adalah sama-sama pekerja yang menghabiskan sebagian besar waktunya di kantor. Si anak difasilitasi lengkap untuk sarana belajarnya, seperti buku, laptop, dan handphone dengan harapan anaknya bisa menggunakan sarana tersebut tanpa mengganggu pekerjaan orang tuanya. Namun pada kenyataannya si anak malah menyalahgunakan sarana yang diberikan orang tuanya, menggunakan handphone untuk janjian dengan lawan jenis atau bahasa jaman sekarang disebut dengan kata pacaran. Hmmmm…
Pola Asuh Demokratis
Pola asuh yang terakhir adalah pola asuh yang dianggap paling ideal yaitu pola asuh demokratis. Dalam pola asuh ini, orang tua memberikan kebebasan serta bimbingan kepada anak. Misalnya anak mempunyai minat, tujuan dan cita-cita sesuai dengan keinginannya. sebagai orang tua kita tidak berhak membatasi apa yang dicita-citakan anak, tugas kita hanya membimbing dan mengarahkan apa yang menjadi impian mereka. Anak yang berkeinginan menjadi seorang pengusaha hendaknya kita bimbing kita motivasi dan kita arahkan bagaimana menjadi seorang pengusaha yang sukses, bukan kita patahkan untuk menjadi seorang direktur sesuai dengan keinginan kita sebagai orang tua. Kita sebagai orang tua harus sebijak mungkin mengahdapi keinginan dari anak, mendukung dan memotivasi serta membimbing agar nantinya anak dapat berkembang secara wajar dan mampu berhubungan secara harmonis dengan orang tuanya. Semoga dengan membaca sedikit tulisan ini menjadikan kita lebih bijak menjadi orang tua, menjadikan keteladanan dan pola asuh yang tepat untuk pendidikan anak kita sehingga anak dapat berkembang dengan baik sesuai apa yang kita harapkan tanpa merasa adanya tekanan atau keterpaksaan dari dalam diri anak. Aamiin ….
Penulis : Novita Ardyanti, S.Pd. (Guru KIMIA SMAIT Al Uswah Tuban)
DAFTAR PUSTAKA
Setyawati, Nadya Fajar. 2015. Aspirasi Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak. Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan : Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Hairudin, 2014. Pendidikan Itu Berawal Dari Rumah. Jurnal Irfani. Volume 10. No. 1, Juni, 2014.
Novrinda, dkk. 2017. Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Anak Usia Dini Ditinaju Dari Latar Belakang Pendidikan. Jurnal Potensia, PG-PAUD. FKIP: UNIB. Vol.2 No. 1, 2017.