Pendidikan di Indonesia saat ini sedang sakit. Namanya sakit pasti tidak mengenakkan, apapun jenis penyakitnya. Apalagi jika sakit itu bisa diindikasikan memengaruhi organ tubuh lainnya. Yang terjadi ialah akan terganggungnya sistem yang lain. Begitulah sebuah analogi tentang pendidikan yang terjadi di Indonesia saat ini.
Sama halnya jika pendidikan dianalogikan sebuah sepeda. Coba kita pikirkan, apa yang membuat sebuah sepeda bergerak? Semua orang pasti berpikiran bahwa roda adalah alat vital dalam pergerakan sepeda tersebut. Padahal begitu banyak komponen pendukung yang sama kuatnya memberikan peran saling mendukung dan saling menguatkan agar sebuah sepeda itu bisa dinaiki dan bergerak bahkan bermanfaat bagi kehidupan. Memang tanpa roda sepeda tidak dapat bergerak, namun komponen seperti setir, rante, ruji, bahkan pedal dan rem juga memiliki peran sama pentingnya. Begitu juga sebuah pendidikan, turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa tidak hanya menjadi kewajiban menteri pendidikan atau guru saja. Sistem kebijakan pendidikan yang dibuat dengan satu sama lain saling punya pengaruh. Sekarang pertanyaanya, sudahkah sistem kebijakan pendidikan tersebut dibuat sebagaimana mestinya?
Pendidikan adalah salah satu ideologi suatu bangsa. Maju dan berkembangnya suatu negara salah satu faktor pentingnya ialah berdasarkan kualitas, sistem, dan kebijakan pendidikan di suatu negara tersebut. Sistem pendidikan yang baik akan melahirkan jiwa pendidik yang baik, dan jiwa pendidik yang baik akan melahirkan peserta didik yang baik pula. Setelah itu, kemana dan seperti apa negeri ini akan berproses dan mampu bersaing dengan negara lain ditentukan oleh seperti apa dan siapa yang akan memimpin negeri ini kelak. Disinilah kita berbicara tentang generasi peradaban masa depan!
Untuk menciptakan generasi peradaban yang yang berkarakter dan siap memimpin, pemerintah bersama dengan elemen pendidikan telah berusaha menyajikan pendidikan yang baik dari segi apapun. Sehingga muncullah kurikulum-kurikulum yang disusun pemerintah seperti KBK dan banyak pula kurikulum sebelumnya. Refleksi dan evaluasi dari beberapa estafet pemegang wewenang kebijakan pendidikan di negeri ini terus dilakukan sehingga pada akhirnya tercetuslah KTSP sebagai pendongkrak kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia. Namun, pendidikan di Indonesia kala itu tidak dibarengi dengan karakter yang bagus pula oleh masyarakat pendidikan baik siswa maupun guru. Tercatat banyak kasus asusila seperti seks bebas, miras, siswa terlibat tawuran, siswa melaporkan guru ke polisi, bahkan banyak sekali dijumpai di surat kabar berita tentang tindakan asusila yang juga dilakukan oleh seorang pengajar.
Menanggapi beberapa kasus tersebut, menurut menteri pendidikan kala itu pentingnya pendidikan karakter adalah solusi dari beberapa kenakalan remaja tersebut, dan lahirlah K13 sebagai kurikulum yang menanamkan pendidikan karakter dari tingkat satuan pendidikan SD sampai dengan SMA. Kehadiran K13 dengan segala pro, kontra, dan juga segala ke-ribeta-nya membawa harapan baru bagi masyarakat pendidikan Indonesia. Selaras dengan harapan pemerintah yaitu K13 dapat menyiapkan generasi atau siswa yang berkarakter mulia seperti yang tertera pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 – 2025 (UU No 17 Tahun 2007) guna mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Akan tetapi, sampai saat ini apakah adanya K13 sudahkah dikatakan dapat mengatasi segala ketimpangan yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia? Sudahkah seperti apa yang diharapkan bersama?
Faktanya, pada Februari 2018 lalu, pendidikan di Indonesia kembali menjadi sorotan dunia karena ulah salah satu siswa yang telah menganiaya seorang guru seni di Sampang – Madura. Tidak hanya itu, masih hangat beberapa waktu yang lalu, pendidikan di kota Tuban telah berduka, telah tersebar luas bahkan ke seluruh Indonesia video asusila seorang pelajar laki-laki bersama beberapa pelajar perempuan di dalam sebuah kos. Ini hanya beberapa contoh saja, tapi apakah ini generasi peradaban yang kelak akan menjadi seorang pemimpin? Jika sebagai seorang pelajar sudah berani mengkriminali gurunya, maka kelak akan seperti apa negeri ini?
Mengenai pembenahan karakter siswa, menurut saya pendidikan pesantren jauh lebih bisa diandalkan dari pada K13. Pesantren adalah long life education. Pesantren adalah sebuah pendidikan tradisonal yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru (Wikipedia). Saat ini pesantren atau istilah kerennya Boarding School juga tidak kalah menarik dan inovatif dibanding sekolah umum lainnya. Berbeda dengan pesantren tempo dulu, pemahaman tentang pesantren hanya fokus pada pendidikan agama saja bahkan dinilai kuno.
Menghadapi pesatnya kemajuan zaman, restorasi pendidikan memang diperlukan, terlebih untuk pendidikan SD dan SMP agar cikal bakal kader masa depan Indonesia tidaklah sekadar tentang kuantitas, namun juga kualitas. Butuh karakter yang kuat dari teladan yang hebat agar tumbuh menjadi Negara yang sehat.
Teladan yang hebat tentunya adalah guru. “Guru adalah agen moral” ujar Jhonston dalam bukunya “Values in English Language Teaching”. Guru adalah penjaga moral generasi muda, guru adalah mentalitas anak bangsa. Dan pendidikan pesantren memiliki semua itu.
Dalam 24 jam siswa akan menjumpai teladan dan kebiasaan dalam berkarakter, karakter sosial, kesantunan dalam beretika, karakter religius, bahkan segalanya. Karakter yang lebih kompleks dan terarah. Pendidikan dan pengajaran yang seperti inilah yang mencerminkan bahwa guru bukanlah seorang pengajar saja, namun juga seorang pendidik.
Kalau kita kembali kepada sejarah peradaban islam dimana ia pernah berkuasa di Andalusia selama delapan ratus tahun, yang dilakukan mereka adalah mengangkat tinggi pendidikan moral sehingga menjadi negara adikuasa, dan hancur karena meninggalkan agama. Ini membuktikan bahwa karakter yang mulia dan moral adalah penentu untuk kemajuan atau justru kehancuran negeri ini.
Betapa dahsyatnya jika anak-anak kita tumbuh dan besar di sekitar keteladanan guru? Sama seperti saat pejabat menjadi contoh kebaikan bagi rakyatnya. Pemimpin memperlihatkan teladan kemuliaan bagi pengikutnya. Pemuka agama menjadi model moralitas bagi umatnya. Orang tua menjadi referensi kebajikan bagi anak-anaknya. Para pendidik mecontohkan keindahan perilakunya pada peserta didiknya.
Penulis : Hisyam Ma’rifi, S.Pd. (Guru Bahasa Indonesia SMAIT Al Uswah Tuban)