Karya: Muhammad Hilmy Al-Fajri
Langit sore menghiasi pesisir pantai. Memang, seharusnya ini adalah pemandangan yang elok untuk di tonton. Namun, apakah elok di pandang jika seluruh pantai penuh puing puing? Inilah kondisi kota kami. Semua telah hancur. Ombak setinggi 40 meter telah menyapu bersih kota ini. Semua telah tandas, tidak ada lagi yang tersisa.
Tubuhku gemetar menahan sakit, kakiku mulai tak kuat untuk menopang berat tubuhku. Terbesit di ingatanku tentang rumahku, tentang keluargaku. Aku segera berlari. Ku paksa kaki ini untuk terus melangkah. Ku tahan semua rasa sakit ini, walau ragaku menolak untuk melangkah.
Tidak ada yang tersisa dari kehancuran ini. Semua telah hancur. Ombak itu telah menelan semuanya, semua kenangan yang telah tercipta. Suara sirine meraung-raung ditengah-tengah kekosongan ini. Ku langkahkan kakiku di halaman sisa rumahku. Rasa panik, takut, kehulangan, marah, sedih, semua mulai berkecamuk, mencuat dari pikiran ku. Puing-puing sisa rumah berserakan, layaknya dedaunan yang rontok.
Semua orang-orang yang kucintai telah tiada. Kenapa? Kenapa ya Allah? Kenapa Kau mengambil semua orang orang yang ku cintai? Kenapa bukan aku saja yang Kau ambil? Kenapa ya Allah? Kenapa semua ini terjadi? Padahal di luar sana para koruptor merajalela. Namun, kenapa bencana ini terjadi di sini? Lantas, di manakah sosok seorang ayah di situasi seperti ini? Ini semua karena dia yang telah meninggalkan ibu. Ini semua karena dia gagal menjadi suami dan sosok ayah yang baik. Dia yang rela meninggalkan keluarga dan pusara hatinya, hanya untuk pekerjaan yang layak di negara seberang.
Dialah yang patut untuk di salahkan.
*7 Tahun berlalu.*
Bertahun tahun kulalui dengan hati yang hampa, bersama dengan amarah yang selalu menyertai.
Bertahun tahun yang terasa sangat lama, namun tak dapat menghilangkan kenangan buruk ini. Aku mulai bingung, entah bagaimana agar kenangan buruk ini hilang dari memori. Kala malam, ku tatap cahaya rembulan yang bersinar terang, dengan cahaya bintang sebagai temannya. Ku bagi kenangan pahit ini dengan langit malam. Namun setiap ku tatap rembulan, terlukis wajah-wajah orang yang ku cintai.
Ingatan ini seolah-olah menolak untuk dilupa dan menolak untuk melupa. Tak dapat ku hapus setiap detail kejadian kala waktu itu terjadi. Setiap malam, kesepian melanda ku. Langit malam menjadi tempatku menengadah. Dikala aku sujud, air mataku mulai mengalir. Aku merasa kehilangan yang begitu besar. Hingga membuat sukmaku bergetar.
Mereka tak pernah tahu, seberapa besar rasa sakit dan sepi yang telah ku telan. Merekapun tak pernah tahu, seberapa rasa kehilangan yang terus mendera ku. Kehilangan ini terus menderaku. Namun, yang paling menyedihkan adalah ketika aku kehilangan rasa khusyuk dalam beribadah. Dzikirku singkat, sujudku tak lagi nikmat.
“ Sudahlah, Senja. Aku tahu kenangan itu pahit. Semua ini bukan tentang melupakan, semua ini hanya berisi berteman dengan kenangan masa lalu. ” Kata Lea, membuatku tersadar dari lamunanku.
“ Aku tahu itu Lea, tapi semua rasa ini tak mau hilang dari kalbu ku, Lea! ”
“ Jika kau menghadapi ujian ini saja bergetar, akan masih banyak lagi ujian yang jauh lebih besar. Menyerah, sampai kapan pun takkan pernah menjadi pilihan. Jika rasa kehilangan itu masih terselip di hatimu, cobalah untuk mengikhlaskan setiap kehilangan yang ada. Rasa ikhlasmu belum sepenuhnya utuh, mungkin itu sebabnya luka-luka ini tak kunjung sembuh. Aku yakin kau bisa, Senja. Aku yakin itu. Teruslah berusaha mengikhlaskan ketiadaan ini. ” Tutur Lea panjang lebar.
Kurenungi kata-kata dari Lea. Memang, jika dirasa, hati ini memang belum kunjung mengikhlaskan semua rasa perih di hati. Namun akankah aku bisa untuk membuat hati ini mengikhlas, sebelum raga ini membalas?
“ Aku tahu ini berat, senja. Aku juga merasakannya. Saudaraku tewas dalam kejadian itu. ”
“ Yang kau rasakan itu tidak seberat apa yang kurasakan. Semua orang yang kucintai tewas. Ayah ku pergi meninggalkan keluargaku. Sedangkan kau? ”
Rasa-rasa nya, mulut ini menjadi kaku untuk mengucap. Air mataku mulai mengalir, dunia ini jahat. Jahat sekali. Tega sekali dunia ini kepadaku.
“ Baiklah Senja. Maaf telah mengungkit kenangan kelam itu. Sebagai gantinya, mari ku ajakkau untuk bertemu seseorang yang sangat istimewa. ”Lea mengulurkan tangannya, membantuku berdiri dari kursi taman. Kusambut uluran tangan itu dengan tanganku. Dia mulai berjalan, sembari meggandeng tanganku. Aku tidak tahu aku akan di bawa kemana.
Langkah demi langkah telah terlewati. Kami berjalan di jalan gang yang sempit. Di kanan kiri terlihat dinding kumuh. Sebelumnya aku belum pernah lewat gang ini. Lea berbelok, dia membuka sebuah gerbang. Di baliknya, terlihat halaman yang di penuhi dengan berbagai bunga. Rumput hijau terhampar layaknya karpet. Ditambah tiga pohon mangga yang menaungi halaman ini, sehingga tampak asri.
“ Assalamu’alaikum. ” Salam Lea, yang membuatku ikut mengucap salam.
Terdengar suara jawaban dari dalam rumah. Sebuah suara anak kecil. Pintu rumah yang ber-cat putih itu terbuka. Dari dalam keluarlah beberapa anak kecil, banyak malahan, bersama satu orang ibu ibu.
“ Kak Lea! ” Sorak anak anak tersebut.
Anak-anak itu mendekat, beberapa memeluk Lea.
“ Bagaimana kabar kalian? ” Tanya Lea lembut.
Anak-anak itu menjawab dengan serentak. Mereka tersenyum, seolah-olah dunia akan berpihak pada mereka. Lea berjalan mendekatiku.
“ Kau lihat mereka. Mereka selalu tersenyum, tanpa memikirkan apapun yang terjadi. Memang karena mereka masih anak kecil. Namun kau lihat anak perempuan itu? “
Tanya Lea sembari menunjuk salah satu dari mereka. Aku melihat kearah yang di tunjuk oleh Lea. Terlihat anak perempuan yang memakai kruk, namun selalu tersenyum. Bahkan tadi anak itu sempat tersenyum kepadaku.
“ Anak itu ditinggal keluarganya disaat tsunami yang juga melanda keluargamu. “
Deg.
“ Orangtuanya tidak ditemukan jasadnya, kakaknya ditemukan tersangkut di pohon kelapa, adiknya yang masih balita tertimbun bersama gundukan tanah, tepat di bawah reruntuhan rumahnya. Dia yang tersisa. Dia kehilangan kaki kirinya saat bencana itu datang. Namun apa yang ia lakukan? Memang dia bingung mencari keluarganya. Dimana orang tuanya? Dimana kakak dan adik nya? Dia menangis sejadi-jadinya saat tahu bahwa keluarganya telah tiada. Disaat anak-anak lain hanya bermain, dia yang masih kecil sudah mengetahui arti kata ‘meninggal’, arti kata ‘kehilangan’. Memang dia mengis. Namun, dia tidak meratapi semua ini. Dia masih sanggup tersenyum. Dia masih sanggup bermain, tak menghiraukan kakinya yang memakai kruk.”
Air mataku mulai menetes. Ya Allah, lihatlah dia, lihatlah dia ya Allah. Dia yang masih kecil, dengan hati yang tak mengerti apa pun. Dengan sangat mudah mengikhlaskan apa yang telah terjadi. Sedangkan aku? Aku yang sudah berumur, sangat sulit untuk membiarkan hati ini ikhlas. Sungguh, sungguh ya Allah, hati ini sekeras batu. Hati ini selalu bergetar kala ingin mengikhlas. Sungguh, sekali lagi, aku mohon ampunanmu. Aku baru melibatkanmu, setelah semua ini berlalu.
“ Jikalau kita tahu, bahwa semua ini hanya titipan. Maka, takkan ada rasa kehilangan disetiap duka datang. Apa arti dari memiliki, jika yang kita miliki bukanlah milik kita. Apa arti dari kehilangan, jika semua yang ada di dunia ini milik Allah semata. “
Iya. Biarlah sang waktu membantuku menyembuhkan luka ini, dengan sujud sebagai penghubungku dengan Dia. Sungguh, aku memohon ampunan-Mu atas dosa yang menyertaiku di waktu dulu.